TIMES JEPARA, JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya pesantren mengembangkan tradisi intelektual kritis berbasis turats dengan pendekatan multidisipliner, mulai dari semantik, filologi, hingga antropologi. Upaya ini dinilai penting agar khazanah klasik Islam tetap hidup, relevan, dan memberi kontribusi nyata pada kehidupan modern.
“Tidak semua kitab kuning bisa disebut turats. Kitab turats adalah karya ulama mumpuni yang menghayati filosofi dasar Al-Qur’an dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah,” ujar Menag Nasaruddin saat membuka Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Sabtu.
Forum tersebut mengusung tema “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats”.
Tradisi Iqra’ dalam Perspektif Pesantren
Nasaruddin mengingatkan bahwa Al-Qur’an menekankan pentingnya cara membaca yang komprehensif. Menurutnya, ada tiga objek utama bacaan yang harus menjadi perhatian setiap Muslim, khususnya santri, yakni Membaca alam semesta (makro kosmos). Membaca ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia (mikro kosmos). Membaca kitab suci Al-Qur’an (wahyu).
“Kata iqra’ tidak sekadar berarti melafalkan huruf, tetapi juga menghimpun. Seperti pohon yang menghimpun akar, batang, daun, dan buah, atau manusia yang menghimpun seluruh unsur makro kosmos dalam dirinya,” jelasnya.
Ia menambahkan, manusia adalah himpunan paling sempurna. Karena itu, Ibnu Arabi menyebut bahwa sejatinya makro kosmos adalah manusia itu sendiri.
Empat Tingkatan Bacaan Al-Qur’an
Menag yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal ini menegaskan pesantren tidak boleh berhenti pada bacaan tekstual semata. Al-Qur’an harus dipahami bukan hanya sebagai kitabullah (petunjuk bagi manusia), tetapi juga sebagai kalamullah (firman Allah yang hanya bisa diakses melalui ketakwaan dan kedalaman spiritual).
“Jangan hanya bangga bisa hafal Al-Qur’an atau menafsirkannya. Di atas langit masih ada langit. Ada lapisan terdalam, yakni haqaiq Al-Qur’an,” ucapnya.
Ia menjelaskan empat tingkatan bacaan Al-Qur’an, yakni Teks Al-Qur’an, Isyarat Al-Qur’an, Lathaif Al-Qur’an, dan Haqaiq Al-Qur’an
Menurutnya, tradisi membaca dalam Islam tidak boleh dipersempit hanya pada dimensi tekstual. Tradisi iqra’ harus disertai kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan ekologis, dengan turats sebagai basis epistemologisnya.
“Al-Qur’an itu bukan sekadar informasi, tetapi juga konfirmasi. Membaca Al-Qur’an berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Inilah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan,” tutur Nasaruddin.
Turats dan Kontekstualisasi Maqashid al-Syariah
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, Amien Suyitno, menekankan pentingnya kontekstualisasi maqashid al-syariah agar agama selalu relevan dengan perkembangan zaman.
Ia mencontohkan bab thaharah dalam fikih yang sering dipahami sempit, padahal sesungguhnya mengandung pesan ekologis. “Menjaga air adalah bagian dari thaharah. Itu berarti menjaga kebersihan dan lingkungan juga ibadah. Inilah bentuk ekoteologi, membaca kehidupan dan alam dengan Al-Qur’an sekaligus ditopang pemahaman turats,” jelasnya.
Amien menegaskan, pesantren memiliki peran strategis dalam melahirkan fikih yang responsif terhadap isu-isu modern, termasuk krisis lingkungan. “Dengan turats sebagai fondasi dan realitas sebagai ladang praksis, halaqah ini diharapkan melahirkan gagasan yang dapat menjadi rujukan kebijakan publik,” katanya.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menag RI: Pesantren Harus Kembangkan Tradisi Intelektual Kritis Berbasis Turats
Pewarta | : Antara |
Editor | : Imadudin Muhammad |